Over Ownership di Dunia Kerja: Ketika Terlalu Banyak Chef Memasak dalam Satu Dapur

Pernahkah kamu mendengar ungkapan “terlalu banyak chef di dapur”? Dalam dunia kuliner, istilah ini digunakan ketika terlalu banyak orang yang ingin mengambil kendali dalam memasak, sehingga bukannya menciptakan hidangan yang lezat, malah menghasilkan kekacauan. Hal yang sama juga terjadi di tempat kerja, terutama saat fenomena “over ownership” muncul.

Over ownership di tempat kerja ibarat seseorang yang terlalu mendominasi dapur—mereka merasa hanya merekalah yang bisa menyajikan hidangan terbaik, mengatur resep, dan menilai rasa. Akibatnya, mereka tidak memberi ruang bagi orang lain untuk berkontribusi, bahkan kadang merasa posisinya sebagai “chef utama” terancam jika orang lain menunjukkan kemampuan memasak yang baik. Ini menyebabkan suasana dapur (atau tempat kerja) menjadi tidak harmonis, penuh ego, dan pastinya, kurang produktif.


Apa itu Over Ownership?

Bayangkan seorang koki yang mengendalikan seluruh proses memasak: memilih bahan, menakar bumbu, memasak hingga plating, bahkan sampai menentukan siapa yang boleh mencicipi. Tentu, ada kebanggaan dalam memastikan semua proses berjalan sempurna. Namun, jika over ownership muncul, koki ini akan merasa bahwa tidak ada orang lain yang bisa melakukan tugasnya dengan benar, hingga setiap orang di tim dapur merasa tidak diberi kesempatan berkreasi atau belajar.

Menurut pakar manajemen, Adam Grant, “Sebuah rasa kepemilikan yang sehat bisa membuat karyawan merasa lebih bertanggung jawab dan terlibat, tetapi ketika ownership berlebihan, hal itu berubah menjadi entitlement, di mana karyawan merasa mereka berhak mendapatkan kekuasaan dan pengaruh lebih dari yang pantas mereka dapatkan.” Ibarat seorang chef yang merasa hanya ia yang tahu takaran bumbu paling pas, sehingga mengabaikan masukan dari sous chef atau tim dapur lainnya.


Tanda-Tanda Over Ownership di Tempat Kerja: Bagaikan Chef yang Berlebihan di Dapur

1. Chef yang Terlalu Percaya Diri dengan Resep Sendiri

Karyawan dengan over ownership seringkali merasa bahwa hanya resep mereka yang benar. Mereka percaya bahwa cara kerja mereka adalah satu-satunya metode yang menghasilkan hidangan terbaik. Seperti seorang chef yang mengabaikan ide untuk mengganti bahan atau bumbu karena yakin resep lamanya sudah cukup sempurna.

2. Monopoli Proses Masak

Seorang koki dengan over ownership tidak akan membiarkan tim dapur lain ikut memotong sayuran, menyiapkan bumbu, atau bahkan menyajikan hidangan. Mereka merasa semua proses harus dilakukan sendiri, meskipun itu sebenarnya tugas tim. Ini membuat anggota tim lainnya merasa tak berguna dan kehilangan kesempatan untuk belajar.

3. Obsesif terhadap Pengaruh di Dapur

Chef dengan over ownership seringkali merasa bahwa dapur akan kacau tanpa kehadiran mereka. Mereka berusaha menjaga status sebagai koki utama dengan menjaga jarak dari orang lain yang berpotensi mengancam posisinya, bahkan jika itu berarti menjatuhkan sous chef atau koki lainnya.

4. Sikap Defensif Ketika Mencicipi Masakan Orang Lain

Jika ada anggota tim yang mencoba memperkenalkan ide atau resep baru, chef ini akan langsung defensif. Setiap kritik dianggap sebagai ancaman, bukan masukan. Ibarat mencicipi hidangan baru, mereka tidak membuka lidah mereka untuk merasakan kombinasi rasa berbeda.

5. Enggan Berbagi Panci dan Wajan

Chef dengan over ownership jarang mau mendelegasikan pekerjaan, meskipun dapur semakin ramai dan beban kerja meningkat. Mereka merasa bahwa hanya mereka yang bisa mengaduk saus dengan sempurna atau memanggang steak pada tingkat kematangan yang pas. Pada akhirnya, mereka kelelahan sendiri dan dapur tidak berjalan seefisien yang seharusnya.


Senioritas dalam Dapur: Saat Koki Lama Tak Ingin Berbagi Resep Rahasia

Over ownership sering kali lebih mencolok di antara karyawan yang sudah lama bekerja atau memegang peran senior. Ibarat seorang chef yang sudah bertahun-tahun memasak di restoran yang sama, mereka merasa pengalaman mereka adalah "rahasia sukses" yang tidak bisa diutak-atik oleh koki yang lebih muda atau junior.

Chef ini sering kali takut kehilangan statusnya, sehingga mereka merasa perlu untuk terus membuktikan kehebatan mereka. Sayangnya, rasa kepemilikan berlebihan ini dapat memadamkan semangat tim dapur lainnya. Alih-alih berbagi resep rahasia atau teknik memasak, mereka menyimpan pengetahuan untuk diri sendiri dan merasa hanya mereka yang bisa menghasilkan hidangan kelas bintang lima.

David Rock, penulis Your Brain at Work, menyebutkan bahwa manusia cenderung mencari rasa aman dalam struktur hierarki. Dalam konteks dapur, hal ini terlihat pada koki senior yang merasa terancam oleh kehadiran koki junior yang inovatif. Akibatnya, dapur jadi tempat persaingan yang tidak sehat.


Bahaya Over Ownership: Resep untuk Kekacauan di Dapur

1. Menghambat Inovasi Resep Baru

Bayangkan jika seorang chef menolak semua inovasi resep atau teknik baru. Dapur akan kehilangan kreativitas. Begitu pula di tempat kerja. Ketika seseorang merasa bahwa cara mereka adalah satu-satunya yang benar, tim akan kesulitan untuk berkembang dan menemukan ide-ide baru. Hal ini membuat bisnis menjadi stagnan, seperti restoran yang menyajikan menu yang sama selama bertahun-tahun tanpa perubahan.

2. Menciptakan Suasana Dapur yang Penuh Ego

Chef yang terlalu mengendalikan dapur akan menciptakan suasana kerja yang tidak harmonis. Anggota tim akan merasa terpinggirkan dan takut untuk berbicara atau memberikan ide. Ego yang besar dari satu individu membuat tim lain merasa tidak dihargai, dan ini menciptakan ketegangan di antara para koki.

3. Chef Kelelahan Sendiri

Chef yang enggan berbagi pekerjaan sering kali berakhir dengan kelelahan. Mereka merasa harus melakukan semuanya sendiri karena tidak percaya pada kemampuan timnya. Akibatnya, produktivitas menurun dan kualitas masakan bisa ikut terpengaruh. Hal ini mirip dengan fenomena burnout yang dialami karyawan dengan over ownership.

4. Mengurangi Keterlibatan Tim Dapur

Ketika hanya satu chef yang mendominasi dapur, anggota tim lainnya akan merasa kurang terlibat. Mereka mungkin berpikir, “Untuk apa saya berusaha jika ujung-ujungnya resep saya tidak akan dipakai?” Hal ini dapat menurunkan semangat dan keterlibatan tim, membuat mereka kurang termotivasi untuk berkontribusi lebih.


Teori Keterlibatan Tim dalam Dapur

Teori Keterlibatan Karyawan (Employee Engagement Theory) dari William Kahn bisa diibaratkan dalam konteks dapur sebagai keterlibatan penuh dari semua anggota tim untuk menciptakan hidangan terbaik. Kahn menyebutkan bahwa karyawan yang terlibat adalah mereka yang merasa dihargai, memiliki makna dalam pekerjaan mereka, dan diberi ruang untuk berkembang. Dalam dunia kuliner, ini artinya setiap koki diberikan kesempatan untuk mengasah keahlian mereka dan menciptakan resep-resep baru.

Sedangkan menurut Douglas McGregor, dalam teorinya X dan Y, ada dua jenis koki di dapur. Koki dengan gaya manajemen Theory X percaya bahwa dapur hanya bisa berjalan baik jika ia mengontrol ketat setiap aspek pekerjaan. Sementara koki dengan Theory Y percaya bahwa timnya bisa bekerja lebih baik jika diberi kebebasan dan kepercayaan. Chef dengan over ownership sering kali terjebak dalam pola pikir Theory X, di mana mereka merasa harus mengendalikan semua hal agar masakan tetap berkualitas.


Kesimpulan: Hidangan Lezat Butuh Kolaborasi

Dapur yang ideal adalah dapur di mana setiap koki, dari sous chef hingga commis, memiliki kesempatan untuk berkontribusi. Begitu juga dalam dunia kerja, kolaborasi dan berbagi tanggung jawab adalah kunci untuk menciptakan kesuksesan. Over ownership hanya akan menghambat kemajuan, merusak hubungan tim, dan menurunkan produktivitas.

Ingat, dalam memasak hidangan terbaik, terkadang kita butuh masukan dari berbagai selera, bukan hanya satu chef yang mengatur semuanya. Jadi, yuk hindari rasa over ownership dan mulai berbagi panci, wajan, dan kreativitas di dapur kerja kita!

Comments

Popular posts from this blog

Fasilitas BMDTP: Peluang Emas untuk Industri Lokal

Menggali HS Code: Resep Rahasia untuk Impor yang Sukses

KTP Burik: Dari Korupsi, Foto Jelek, Sampai Bahan Kartu yang Kacau